kerupuk kulit
kerupuk kulit
Kerupuk kulit merupakan salah satu produk olahan dari kulit. Dimana kulit yang dapat digunakan untuk pembuatan kerupuk kulit bisa dari kulit sapi, kulit kambing, kulit kerbau, dan jenis kulit lainnya. Kerupuk kulit merupakan salah satu makanan tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu yang disukai oleh masyarakat sampai saat sekarang ini. Pada saat ini, bahan dasar dalam pembuatan kerupuk kulit adalah kulit segar dari hasil pemotongan yang langsung diproses menjadi kerupuk kulit. Kulit segar yang digunakan untuk pembutan kerupuk kulit biasanya langsung diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Pembuatan kerupuk kulit dari kulit segar tentunya akan membatasi jumlah kulit yang digunakan untuk kerupuk kulit karena kulit tersebut adalah kulit segar bukan kulit awetan yang dapat bertahan lama. Tentunya hal ini berpengaruh pada saat jumlah kulit tersebut melimpah pada saatsaat hari besar contohnya pada hari raya qurban (Hari Raya Idul Adha) dimana jumlah kulit sapi yang tersedia lebih banyak dan lebih murah. Jika jumlah kulit yang tersedia meningkat tentunya tidak semua kulit yang tersedia pada saat itu dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kerupuk kulit, seperti yang kita ketahui bahwa kulit segar yang baru dari proses pemotongan mudah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, kimia, dan mikroorganisme. Dimana aktivitas ini tentunya akan merusak kualitas dari kulit segar tersebut. Jika semua kulit segar dijadikan kulit samak maka ini akan mengurangi ketersediaan kulit yang akan diolah menjadi kerupuk kulit. Penerapan metode pengawetan kulit menjadi solusi dari permasalahan diatas, dimana kulit yang tersedia tersebut dapat kita jadikan 2 kulit awetan garam dengan metode penggaraman. Sehingga kulit tersebut dapat bertahan lama sebelum diolah menjadi kerupuk kulit. Namun kekurangan dari kulit awetan garam ini menghasilkan kerupuk kulit dengan warna lebih gelap dari biasanya dan juga mempengaruhi daya kembang serta rasa dari kerupuk kulit. Sodium metabisulfit dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam menghasilkan kerupuk kulit dengan warna kurang menarik dan rasa yang kurang disukai. Hal ini juga sesuai dengan salah satu pendapat dari produsen kerupuk
Kerupuk kulit merupakan salah satu produk olahan dari kulit. Dimana kulit yang dapat digunakan untuk pembuatan kerupuk kulit bisa dari kulit sapi, kulit kambing, kulit kerbau, dan jenis kulit lainnya. Kerupuk kulit merupakan salah satu makanan tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu yang disukai oleh masyarakat sampai saat sekarang ini. Pada saat ini, bahan dasar dalam pembuatan kerupuk kulit adalah kulit segar dari hasil pemotongan yang langsung diproses menjadi kerupuk kulit. Kulit segar yang digunakan untuk pembutan kerupuk kulit biasanya langsung diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Pembuatan kerupuk kulit dari kulit segar tentunya akan membatasi jumlah kulit yang digunakan untuk kerupuk kulit karena kulit tersebut adalah kulit segar bukan kulit awetan yang dapat bertahan lama. Tentunya hal ini berpengaruh pada saat jumlah kulit tersebut melimpah pada saatsaat hari besar contohnya pada hari raya qurban (Hari Raya Idul Adha) dimana jumlah kulit sapi yang tersedia lebih banyak dan lebih murah. Jika jumlah kulit yang tersedia meningkat tentunya tidak semua kulit yang tersedia pada saat itu dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kerupuk kulit, seperti yang kita ketahui bahwa kulit segar yang baru dari proses pemotongan mudah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, kimia, dan mikroorganisme. Dimana aktivitas ini tentunya akan merusak kualitas dari kulit segar tersebut. Jika semua kulit segar dijadikan kulit samak maka ini akan mengurangi ketersediaan kulit yang akan diolah menjadi kerupuk kulit. Penerapan metode pengawetan kulit menjadi solusi dari permasalahan diatas, dimana kulit yang tersedia tersebut dapat kita jadikan 2 kulit awetan garam dengan metode penggaraman. Sehingga kulit tersebut dapat bertahan lama sebelum diolah menjadi kerupuk kulit. Namun kekurangan dari kulit awetan garam ini menghasilkan kerupuk kulit dengan warna lebih gelap dari biasanya dan juga mempengaruhi daya kembang serta rasa dari kerupuk kulit. Sodium metabisulfit dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam menghasilkan kerupuk kulit dengan warna kurang menarik dan rasa yang kurang disukai. Hal ini juga sesuai dengan salah satu pendapat dari produsen kerupuk
Kerupuk kulit merupakan salah satu produk olahan dari kulit. Dimana kulit yang dapat digunakan untuk pembuatan kerupuk kulit bisa dari kulit sapi, kulit kambing, kulit kerbau, dan jenis kulit lainnya. Kerupuk kulit merupakan salah satu makanan tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu yang disukai oleh masyarakat sampai saat sekarang ini. Pada saat ini, bahan dasar dalam pembuatan kerupuk kulit adalah kulit segar dari hasil pemotongan yang langsung diproses menjadi kerupuk kulit. Kulit segar yang digunakan untuk pembutan kerupuk kulit biasanya langsung diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Pembuatan kerupuk kulit dari kulit segar tentunya akan membatasi jumlah kulit yang digunakan untuk kerupuk kulit karena kulit tersebut adalah kulit segar bukan kulit awetan yang dapat bertahan lama. Tentunya hal ini berpengaruh pada saat jumlah kulit tersebut melimpah pada saatsaat hari besar contohnya pada hari raya qurban (Hari Raya Idul Adha) dimana jumlah kulit sapi yang tersedia lebih banyak dan lebih murah. Jika jumlah kulit yang tersedia meningkat tentunya tidak semua kulit yang tersedia pada saat itu dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kerupuk kulit, seperti yang kita ketahui bahwa kulit segar yang baru dari proses pemotongan mudah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, kimia, dan mikroorganisme. Dimana aktivitas ini tentunya akan merusak kualitas dari kulit segar tersebut. Jika semua kulit segar dijadikan kulit samak maka ini akan mengurangi ketersediaan kulit yang akan diolah menjadi kerupuk kulit. Penerapan metode pengawetan kulit menjadi solusi dari permasalahan diatas, dimana kulit yang tersedia tersebut dapat kita jadikan 2 kulit awetan garam dengan metode penggaraman. Sehingga kulit tersebut dapat bertahan lama sebelum diolah menjadi kerupuk kulit. Namun kekurangan dari kulit awetan garam ini menghasilkan kerupuk kulit dengan warna lebih gelap dari biasanya dan juga mempengaruhi daya kembang serta rasa dari kerupuk kulit. Sodium metabisulfit dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam menghasilkan kerupuk kulit dengan warna kurang menarik dan rasa yang kurang disukai. Hal ini juga sesuai dengan salah satu pendapat dari produsen kerupuk.
Kerupuk kulit merupakan salah satu produk olahan dari kulit. Dimana kulit yang dapat digunakan untuk pembuatan kerupuk kulit bisa dari kulit sapi, kulit kambing, kulit kerbau, dan jenis kulit lainnya. Kerupuk kulit merupakan salah satu makanan tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu yang disukai oleh masyarakat sampai saat sekarang ini. Pada saat ini, bahan dasar dalam pembuatan kerupuk kulit adalah kulit segar dari hasil pemotongan yang langsung diproses menjadi kerupuk kulit. Kulit segar yang digunakan untuk pembutan kerupuk kulit biasanya langsung diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Pembuatan kerupuk kulit dari kulit segar tentunya akan membatasi jumlah kulit yang digunakan untuk kerupuk kulit karena kulit tersebut adalah kulit segar bukan kulit awetan yang dapat bertahan lama. Tentunya hal ini berpengaruh pada saat jumlah kulit tersebut melimpah pada saatsaat hari besar contohnya pada hari raya qurban (Hari Raya Idul Adha) dimana jumlah kulit sapi yang tersedia lebih banyak dan lebih murah. Jika jumlah kulit yang tersedia meningkat tentunya tidak semua kulit yang tersedia pada saat itu dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kerupuk kulit, seperti yang kita ketahui bahwa kulit segar yang baru dari proses pemotongan mudah dipengaruhi oleh aktivitas fisik, kimia, dan mikroorganisme. Dimana aktivitas ini tentunya akan merusak kualitas dari kulit segar tersebut. Jika semua kulit segar dijadikan kulit samak maka ini akan mengurangi ketersediaan kulit yang akan diolah menjadi kerupuk kulit. Penerapan metode pengawetan kulit menjadi solusi dari permasalahan diatas, dimana kulit yang tersedia tersebut dapat kita jadikan 2 kulit awetan garam dengan metode penggaraman. Sehingga kulit tersebut dapat bertahan lama sebelum diolah menjadi kerupuk kulit. Namun kekurangan dari kulit awetan garam ini menghasilkan kerupuk kulit dengan warna lebih gelap dari biasanya dan juga mempengaruhi daya kembang serta rasa dari kerupuk kulit. Sodium metabisulfit dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa kerupuk kulit yang berasal dari kulit awetan garam menghasilkan kerupuk kulit dengan warna kurang menarik dan rasa yang kurang disukai. Hal ini juga sesuai dengan salah satu pendapat dari produsen kerupuk
Pemanfaatan kulit sapi masih terbatas pada kulit daerah tubuh sapi yang umumnya hanya dipakai dalam industri penyamakan kulit, sedangkan pemanfaatan kulit sapi menjadi kerupuk masih kurang. Salah satu pemanfaatan kulit sapi yaitu dapat diolah menjadi bahan pangan, misalnya dijadikan kerupuk kulit. Kerupuk adalah bahan cemilan bertekstur kering, memiliki rasa yang enak dan renyah sehingga dapat membangkitkan selera makan serta disukai oleh semua lapisan masyarakat. Kerupuk kulit sapi adalah produk makanan ringan yang dibuat dari kulit sapi melalui tahap proses perendaman dalam larutan kapur, pembuangan bulu, perebusan, pengeringan, dan perendaman dengan bumbu untuk kerupuk kulit mentah atau dilanjutkan penggorengan untuk kerupuk kulit siap dikonsumsi` (Amertaningtyas, 2011) Bahan baku dari pembuatan kerupuk kulit adalah kulit sapi yang masih segar. Kerupuk kulit yang berasal dari kulit sapi, kurang mengandung adanya senyawa kolesterol. Hal ini dimungkinkan pada proses pengolahan kulit menjadi kerupuk kulit. Secara topografis kulit dibagi menjadi 3 bagian yaitu leher, punggung, dan perut. Ketiga bagian kulit ini memiliki struktur lapisan kulit yang berbeda-beda. Pada daerah leher memiliki struktur jaringan yang bersifat longgar dan sangat kuat, daerah punggung memiliki struktur jaringan yang kuat, rapat, merata, serta padat, dan daerah perut merupakan daerah yang memiliki struktur jaringan kulit paling tipis dan longgar. Menurut Said et al., 2011), setiap bangsa ternak mempunyai macam kulit dan ciri khas fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya. Rata-rata tebal kulit 1-2 mm paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis 0,5 mm dengan persentase tergantung jenis ternak, yaitu pada sapi sekitar 6% - 9%, domba 12% - 15%, dan kambing 8% - 12% dari berat tubuh (Said, 2012; Sompie et al., 2012), Pembuatan kerupuk kulit sapi melalui proses pengeringan. Pengeringan adalah cara untuk mengeluarkan kandungan air melalui penggunaan energi panas. Oleh masyarakat pengeringan sering dilakukan dengan cara tradisional, yakni menggunakan sinar matahari. Proses pengeringan tersebut memberikan hasil yang kurang optimal, membutuhkan waktu yang lama. Selain itu proses penjemuran di area terbuka dapat berdampak pada masalah higienis terhadap produk tersebut. Oleh karena pengeringan merupakan suatu proses utama dalam pembuatan kerupuk, perlu dikaji alternatif yang lain mengenai pengeringan kerupuk kulit sapi. Penggunaan mesin pengering merupakan suatu alternatif dalam proses pengeringan. Namun kurangnya informasi mengenai waktu pengeringan menggunakan mesin, maka perlu dilakukan penelitian mengenai lama pengeringan. Menurut Jaelani et al. (2014) proses pengeringan yang lakukan tidak mencapai batas, dapat berakibat pada kerusakan kandungan protein pada bahan pangan tersebut. Cahyani dan Hermanto (2019) menyatakan bahwa proses pengeringan dalam pembuatan kerupuk kulit sapi dengan oven menggunakan temperatur 60°C diharapkan sudah cukup untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme, sedangkan pengeringan pada temperatur lebih tinggi dari 60ºC dapat menyebabkan denaturasi protein. Namun penelitian tersebut belum memberikan informasi ilmiah mengenai lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan dalam mempertahankan kualitas kerupuk kulit sapi. Berdasarkan latar belakang, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui lama pengeringan proses pengolahan kerupuk kulit sap
Komentar
Posting Komentar